LIPI: Ulat Bulu di Probolinggo Fenomena Langka
Penulis : Bagus Suryo
Senin, 18 April 2011 17:14 WIB
Ahli Entomologi Puslit Biologi LIPI Dr Hari Sutrisno kepada Media Indonesia, di Probolinggo, Senin (18/4), mengatakan species Arctornis Riguata tersebut belum banyak diteliti secara detail. Selain itu berdasarkan penelitian di Probolinggo, pihaknya menemukan sejumlah keanehan sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam.
Fenomena aneh itu di antaranya serangan wabah ulat bulu jenis Arctornis Riguata ini ada kecenderungan membentuk huruf U, meskipun yang diserang tetap pohon mangga.
"Arctornis Riguata merupakan jenis ulat bulu yang belum banyak diteliti," ujarnya.
Selain itu ditemukan kepompong ulat bulu yang telanjang mirip kepompong kupu-kupu siang, sehingga rentan terserang parasit. Hal itu dinilai tidak umum karena pada kelompok ngengat atau kupu-kupu malam jarang dijumpai seperti itu.
"Kepompong ulat bulu jenis ini seharusnya tidak telanjang. Biasanya terbentuknya kepompong disertai dengan melepaskan bulu untuk dijadikan sarang," tegasnya.
Pengamatan di lapangan menyebutkan ulat bulu jenis ini memiliki sifat menyerang tanaman kanopi tinggi kelompok mangga-manggaan.
Species ini dianggap sebagai fenomena baru karena pertama kali ini dilaporkan sebagai hama tanaman. Padahal ulat tersebut sudah tercatat pada 1948 setelah ditemukannya populasi di pegunungan Tengger, kawasan Gunung Bromo, Probolinggo, dan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, pada tahun itu.
Species ini juga banyak ditemukan di hutan Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan ketinggian 0-1.100 meter di atas permukaan laut.
Di Indonesia ada sekitar 25 ribu jenis ulat bulu dari kupu-kupu malam tergabung pada sekitar 60 famili. Sedangkan famili ulat bulu Lymantriidae tersebar di kawasan hutan tropis dataran rendah dan berada di kanopi (pucuk) ada sekitar 300 jenis, sebanyak 144 jenis di antaranya di Jawa.
Untuk jenis Arctornis masuk famili Lymantriidae, dan sejauh ini baru terdata sekitar 17 species.
Ia menjelaskan daya jangkau kupu-kupu ini dari pegunungan Tengger hingga merambah sembilan kecamatan di Probolinggo karena inang atau tanaman di daerah itu sambung-menyambung. Sehingga wajar bila kupu-kupu itu bisa menjangkau kawasan tersebut, karena memang jaraknya tidak terlalu jauh. Kendati ada kemungkinan wabah ini disebabkan dampak erupsi Gunung Bromo yang menimbun kawasan pertanian di daerah setempat.
Sifat Arctornis riguata memiliki jumlah telur sangat banyak. Hal itu sebagai konsekwensi dari kepompong yang tidak memiliki perlindungan. Kepompong yang telanjang itu menjadikan peluang hidupnya tidak panjang.
Menariknya lagi bahwa ulat bulu ini lebih banyak menyerang tanaman mangga manalagi ketimbang mangga arumanis. Sehingga muncul dua hipotesis, pertama adalah komponen kimia daun mangga arumanis dan manalagi pasti berbeda.
Daun tanaman mangga manalagi kenapa lebih disukai atau serangannya lebih hebat, hal itu diduga karena daun tanaman itu memiliki kadar gula lebih tinggi daripada protein sehingga ulat cenderung makan lebih banyak daun.
"Kita akan mengambil sampel daun untuk dianalisis di Bogor. Tujuannya untuk mengetahui kadar kimia dalam daun mangga manalagi dan arumanis," tegasnya.
Hipotesis kedua, lanjutnya, informasi dari petugas lapang Dinas Pertanian menyebutkan melihat adanya kecenderungan pada tanaman mangga manalagi yang memiliki kanopi lebih lebat atau daunnya lebih banyak dibandingkan arumanis. Sehingga ada kecenderungan ulat yang tidak menyukai sinar matahari langsung, maka akan lebih menyukai pada tanaman manalagi.
"Untuk penelitian terhadap jenis ulat ini kita masih mempelajari biologinya. Sebab belum ada yang meneliti sampai level itu," ujarnya.
Data menarik lainnya yang ditemukan di lapangan menyebutkan burung pemakan serangga ternyata juga tidak menyukai ulat bulu jenis Arctornis riguata. Informasi itu berdasarkan pengakuan penjual burung di Probolinggo.
"Burung prenjak pari ternyata tidak suka ulat bulu jenis ini," katanya.
Ia menjelaskan proses menjadi ulat bulu sebelumnya diawali dari kupu-kupu yang bertelur. Telur itu berwarna hijau, memiliki sifat bergerombol, berbentuk bulat, dan diletakkan di pucuk daun mangga.
Setelah satu minggu kemudian menetas menjadi ulat tingkat satu. Selama 4-5 hari berkembang menjadi ulat tingkat dua, dan berkembang terus hingga menjadi ulat tingkat empat. Setelah itu menjadi kepompong, dan memasuki 7-10 hari menjadi kupu-kupu dengan ciri warna putih terdapat bintik hitam yang tidak begitu jelas.
Penyebab serangan ulat bulu di berbagai daerah karena faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik dipicu oleh perubahan habitat sebagai akibat berkurangnya atau kerusakan hutan dataran rendah. Sehingga memicu masukknya ulat di Probolinggo dengan menyerang tanaman mangga yang menjadi inang ulat bulu.
Selain itu juga disebabkan oleh kenaikan suhu akibat peningkatan kadar CO2 yang terbukti memicu serangan hama fitofagus atau pemakan daun.
Secara teori, keugian yang diakibatkan oleh serangga pemakan daun tidak akan fatal atau mematikan tanaman kecuali terjadi infeksi sekunder.
Sementara itu faktor biotik disebabkan semakin berkurangnya musuh alami ulat bulu. Predator dari fase dewasa ulat bulu berupa ngengat (kupu-kupu malam) adalah kelelawar. Selain itu semut rang-rang juga menjadi predator ulat bulu, namun kini jarang dijumpai karena dieksploitasi sebagai pakan burun berkicau.
Bahkan burung pemakan serangga yakni jalak dan prenjak juga sudah jarang dijumpai di alam bebas karena perburuan secara liar.
Langkah pengendalian jangka pendek dengan perbaikan sanitasi lingkungan (pupasi terjadi ditempat-tempat yang banyak serasah, sampah, tumpukan kayu dan lain-lain), pemberantasan ulat, larva, kepompong secara mekanik dengan cara menguburnya, pengumpulan larva ke dalam tabung pendama untuk mendapatkan parasitnya kemudian melepaskan kembali ke alam, menggunakan perangkap lampu (mercuri atau uv) untuk menangkap ngengat dan selanjutnya dibunuh, serta menggunakan larva dan pupa yang mati akibat entomopatogen untuk dibuat larutan dan disemprotkan untuk pengendalian atau mengitroduksi entomopatogen hasil biakan dari laboratorium.
Langkah pencegahan lainnya dengan dimensi waktu yang lebih panjang adalah dengan memberikan pendidikan dini kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga keseimbangan alam. Sehingga setelah memahami penyebab dan solusinya pengendalian maka masyarakat tidak perlu panik dalam menghadapi wabah ulat bulu. (BN/OL-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar